Benar Atau Salah Sih? – Bagi sobat pembaca cahayaislam yang berasal dari Jawa pasti sudah familiar dengan banyaknya tradisi yang kental di dalamnya. Banyak sekali ritual-ritual yang dilakukan dalam banyak kesempatan dan waktu-waktu tertentu. Tersebutlah satu tradisi Jawa yang dikenal dengan upacara Mitoni atau upacara tujuh bulanan kandungan.
Tradisi ini dilakukan dengan tujuan agar jabang bayi yang berada di dalam kandungan (berumur tujuh bulan) bisa terlahir dengan selamat nantinya dan dipenuhi dengan keberkahan.
Apa itu tradisi upacara Mitoni dalam tradisi Jawa?
Konon tradisi mitoni ini adalah semacam kebiasaan yang sudah ada dan diciptakan sejak zaman wali songo. Seperti yang kita ketahui bahwa wali songo yang melegenda sebagai para alim ulama di Indonesia tersebut berperan besar dalam penyebaran dakwah di Indonesia. Dulu di masa para wali, beberapa daerah di Indonesia (termasuk di Jawa) masih kental dengan adat dan tradisi Hindu dan Budha.
Para wali songo kemudian membuat siasat untuk nyelimur ajaran-ajaran islam dalam sendi-sendi tradisi sedikit demi sedikit. Contoh yang paling terkenal adalah tembang Mocopat yang ditengarai mengandung ajaran islam mengenai kehidupan manusia itu sendiri sejak di dalam kandungan hingga liang lahat. Singkatnya budaya mitoni sudah ada sejak dahulu.
Bagi banyak masyarakat Jawa, tradisi mitoni ini sebenarnya memiliki filosofis islami yang baik. Dimana acara mitoni tersebut diisi oleh bacaan-bacaan ayat suci Al Quran dan syukuran dengan berbagi kepada masyarakat. Memang benar kalau dicerna dengan mendalam, maka upacara mitoni ini terdengar baik dan mengindahkan ajaran-ajaran Allah Rasul (karena berisi amalan seperti melantunkan ayat Al Quran dan bersedekah kepada sesama). Namun bagaimana hal ini dalam pandangan islam itu sendiri?
Pandangan islam dan pendapat alim ulama mengenai upacara mitoni?
وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ ” صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ” . وَيَقُولُ ” بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ” . وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ ” أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ” . ثُمَّ يَقُولُ ” أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَىَّ وَعَلَىَّ
Dalam hadits yang termaktub dalam riwayat Muslim diatas ada satu khutbah Rasulullah yang menyatakan bahwa sebaik baiknya petuah ada dalam kitab Allah (Al Quran) dan sebaik-baiknya petunjuk ada pada sunnah Rasulullah (Al Hadits). Dan diantara hal-hal yang berbahaya dan buruk adalah hal-hal yang baru (bid’ah). Dimana bid’ah itu mengarahkan kepada kesesatan.
Bila berdasarkan kepada hadits Muslim diatas sebagai acuan atas boleh tidaknya melaksanakan upacara mitoni. Maka sudah jelas bahwa hal itu adalah “perkara baru” yang merupakan bid’ah. Sebagaian dari para alim ulama tegas soal hal ini. Meskipun hal-hal baru tersebut dihiasi dengan hal-hal “baik”, mereka tetap tidak melaksanakannya, karena memang Rasulullah tidak memberikan tuntunan atas hal tersebut. Terlebih dalam hadits lain pula dikatakan bahwa setiap amalan yang tidak ada dasar hukumnya, maka amalan tersebut tidak diterima atau ditolak oleh Allah. Jadi banyak dari para alim ulama mengatakan bahwa upacara mitoni ini merupakan hal yang sia-sia untuk dilakukan. Karena memang tidak akan diterima oleh Allah.
Namun siapa kita yang berhak menentukan apakah amalan itu diterima atau tidak? – Terlepas dari landasan hadits diatas, banyak juga para alim ulama yang berpendapat lain. Ada yang menyatakan bahwa upacara mitoni tersebut boleh saja dilakukan. Hanya saja niyatnya tidak untuk melaksanakan semacam ritual. Namun niyatnya lebih diarahkan kepada bersedekah dan untuk membaca ayat-ayat suci Al Quran. Jadi upacaranya hanya sekedar “kemasan” saja dari amalan-amalan yang ada di dalamnya.
Pendapat kedua ini pula yang kemudian menjadi solusi bagi mereka muslimin dan muslimah yang ingin tetap melestarikan budaya daerahnya tanpa menodai syariat islam yang digenggamnya erat-erat. Jadi mereka akan tetap melaksanakan upacara tersebut. Namun niyat yang dipasungkan dalam hati bukalah niyat untuk melakukan upacara tradisi tersebut, melainkan niyat untuk bersedekah dan lain sebagainya. Semoga menjadi manfaat dan memberikan barokah ya! Amiin