Cerita Islami – Citra Puspa Gumilang -atau yang sehari-hari akrab disapa Teh Acit- mungkin adalah seorang wanita biasa yang bisa kita temui di mana saja, bahkan hei, sebagai dara yang baru saja melepas masa lajang, dia masih terkesan sangat lugu. Tapi alumnus jurusan teknik pangan di salah satu PTN di Bandung ini punya pandangan yang sangat dalam mengenai LDII setelah 3 tahun mengikuti aktivitas di dalamnya. Wawancara kami dengannya kali ini membahas banyak tentang awal mula ikut pengajian LDII, sampai kenyataan bahwa kamu harus kritis menyikapi opini miring masyarakat mengenai kesesatan LDII.
3 Tahun Ngaji di LDII, Aku Merasa Lebih Baik
Q: Sejak kapan ikut ngaji di LDII?
A: Sebetulnya sejak kuliah semester 4, tahun berapa tuh berarti? 2012 ya? Nah itu aku udah mulai ikut ngaji, tapi sempet berhenti selama satu semester karena kesibukan kuliah. Akhirnya baru bisa aktif lagi tahun 2013 hehe.
Q: Pertama ikut ngaji gimana ceritanya? Siapa yang ngajak?
A: Kalau diingat lagi, awalnya bisa ikut ngaji itu agak bodor (kocak, Sunda-red) sih. Jadi ceritanya dulu, pas lagi di kampus, hape aku lagi dipinjam sama teman. Waktu itu aku belum tahu kalau dia itu jamaah LDII. Dia kan lihat-lihat koleksi foto di situ, tiba-tiba dia tanya “Ini siapa?” karena merasa familiar mungkin ya sama orang di foto itu. Ya aku jawab aja, “Oh itu teman SMA, kenapa gitu?”
Dia malah nanya lagi, “Nama bapaknya siapa?” Aku sih ngga merasa aneh sama pertanyaan itu, dan karena memang dulu sekelas sama orang di foto itu, ya aku jadi tahu nama bapaknya dan aku jawab aja. Terus dia malah bilang, “Oh iya berarti aku kenal sama bapaknya.” Waktu itu sih sempat bingung juga, “Kenapa dia malah kenal sama bapaknya ya? Oh mungkin dulu rekan bisnis bapaknya kali ya. Mungkin pernah ketemu di mana.”
Nah yang aku belum tahu, ternyata orang di foto itu, teman SMA aku itu, juga jamaah LDII hhahaha. Singkat cerita, mungkin karena mereka berdua (teman kuliahku dan teman SMA-ku itu) sama-sama ngobrol tentang aku setelah itu, akhirnya mungkin mereka sepakat untuk ngajak aku ngaji. Ya begitulah.
Q: Sebelum ikut ngaji di LDII, pernah ikut ngaji di ormas Islam mana?
A: Belum, belum pernah. Ya selama ini ngga pernah aja ikut ormas mana-mana. Polos aja gitu. Aku aja terakhir ngaji tuh SD, sempat ikut TPA seperti pada umumnya. Jadi karena pada waktu itu juga kepikiran “Ah udah lama juga ngga ngaji,” akhirnya mau diajak ngaji. Toh juga waktu itu ngga ada pikiran ini nih pengajian apa, dalam gambaran aku “Oh mungkin ya ngaji baca Qur’an aja bareng-bareng.” Padahal setelah diikuti ternyata lebih dari itu, ya sampai Al-Quran tuh diberi makna di setiap lafadz-nya dan diberi keterangan lengkap mengenai kandungan ayatnya.
Q: Jadi pada waktu itu ketika memutuskan ikut ngaji di LDII memang bukan karena punya “ketertarikan” khusus ya?
A: Gimana ya? Karena memang waktu itu aku bahkan ngga pernah dengar apapun tentang LDII. Apa itu LDII aku juga belum tahu Baru setelah ikut pengajian beberapa kali, benar-benar tahu tentang LDII dan apa pandangan orang-orang umumnya tentang LDII.
Q: Tapi pernah ngga terpikir untuk mencari tahu tentang LDII?
A: Mencari tahu lewat internet sih ngga pernah, tapi pernah tuh dipesan sama orangtua, “Oh, LDII? Itu mah aliran sesat!” gitu. Ya biasa lah isu-isu yang berkembang di masyarakat pada umumnya, misalnya kalau kita non-LDII ikut sholat di masjid LDII pasti setelah itu dipel lantainya. Tapi karena aku udah ikut ngaji dan aktivitas lainnya selama beberapa bulan, menyaksikan semua dengan mata kepala sendiri, bahkan kalau ngaji juga aku datang langsung ke masjidnya, dan ngga ngerasain ada hal-hal seperti yang diomongin itu, ya aku sih terus aja.
Q: Memangnya waktu itu, selain isu tentang “habis-sholat-lantai-dipel” itu, Teteh pernah dengar isu apalagi tentang LDII?
A: Ya di antaranya, katanya orang LDII itu suka ganti-ganti istri …
Q: Ganti-ganti istri?!
A: Iya, hhaha, ganti-ganti istri! Aku pikir, “Masa sih?” Ya aku sih rasional aja, kayaknya di dunia ini ngga ada deh yang kayak gitu. Terus apa lagi ya? Oh ini, pernah dengar juga, bahwa orang kalau ikut ngaji di LDII itu untuk diporotin (diperas uangnya -red) karena infaq-nya harus besar. Banyak yang bilang, “Makanya yang ngaji di LDII itu, coba lihat mobilnya bagus-bagus, padahal itu orang-orang yang diporotin uangnya!” Padahal yang aku rasain sih ngga gitu, buktinya aku juga waktu itu mahasiswa, belum punya duit, tapi tetap santai aja ikut ngaji, hhahaha. Malah aku rasa bagus bahwa di LDII kita selalu diingatkan untuk mengeluarkan infaq dari sebagian harta kita dan itu kan memang kewajiban kita sebagai orang iman. Apa yang salah dengan itu?
Q: Ketika sudah mengaji, pernahkah menemukan hal-hal yang tidak sesuai, bertentangan dengan hati, misalnya?
A: Ya aku akui memang ketika awal-awal mengaji itu aku sempet belang betong (tidak tertib hadir -red), jadi dari segi penguasaan keilmuan agama sendiri agak tersendat-sendat. Tapi selalu, semua praktik yang aku temui di LDII ini sudah pernah disampaikan sebelumnya ke aku, seperti apa dasar ilmunya dari Al-Quran dan Al-Hadits, sehingga ngga ada pertentangan sama sekali. Ketika semua ada dalilnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits, terus mau apalagi?
Q: Perbedaan apa yang paling terasa, kalau harus membandingkan saat sebelum dan sesudah ikut ngaji di LDII? Adakah misalnya, setelah ngaji, jadi terhambat di dalam aktivitas kuliah, di dalam berbakti kepada orangtua, atau lainnya?
A: Yang jelas, karena dari segi keilmuan agama aku merasa bertambah, jadi tahu mana ibadah yang benar-benar sesuai dengan sunnah dari Nabi (Muhammad), dan mana yang tidak. Mana yang bid’ah, mana yang syirik, mana yang murni. Mana yang boleh dan mana yang ngga boleh.
Perubahan jelas ada, tapi kalau menghambat Insya Allah tidak. Justru malah lebih menjaga jadinya. Semuanya jadi lebih tegas. Misalnya, dalam hal berhijab. Dulu aku berkerudung hanya pas pergi-pergi aja, sedangkan kalau keluar rumah misalnya beli bubur gitu, kerudungnya ngga dipake. Ya ngga ada masalah waktu itu, toh kebanyakan orang juga begitu? Nah setelah ngaji jadi tahu bahwa bahkan di dalam rumah sendiri pun, ketika ada laki-laki yang bukan mahram, ya wajib pakai kerudung.
Terus dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan juga, dulu sering tuh misalnya ditepuk sama laki-laki dari arah punggung atau bahu. Ya rasanya biasa aja. Tapi setelah ngaji, tiba-tiba kalau ditepuk gitu langsung refleks ngebentak “Apa sih?!” gitu. Ya maksudnya bahwa aku sekarang tuh udah ngga boleh digituin hehe.
Termasuk kalau misalnya kampus ngadain acara yang sampai harus menginap, terus antara laki-laki dan perempuan ngga dibuat batasan dan controlling yang tegas, biasanya aku dari awal udah cari tahu, kalau sekiranya ngga harus diikuti ya aku milih ngga ikut.
Q: Perbedaan dalam cara memandang dunia, seperti apa? Misalnya, yang tadinya ambisius ingin mengejar ini dan itu, adakah perubahan dalam mengukur cita-cita itu, setelah ikut ngaji di LDII?
A: Buat aku sih, jadinya beda banget. Tapi lebih karena aku jadi tahu batas-batasnya, gitu. Misalnya nih, tadinya aku ingin bisa berkarier di luar kota (selain Bandung), ya untuk cari pengalaman juga kan? Bosan juga kalau di Bandung terus haha. Nah setelah tahu batasnya, bahwa jika seorang wanita itu kalau bepergian harus dibarengi dengan laki-laki yang mahram dengan dia, akhirnya aku jadi mikir-mikir lagi hehe. “Oh kayaknya bakal repot juga ya kalau harus survive sendirian nurutin karier.” Yang terbayang itu betapa aku bakal terus-terusan bertentangan sama ketentuan agama kalau harus menjalani pilihan seperti itu. Akhirnya jadi memutuskan sementara waktu di Bandung aja dulu, mencoba explore peluang-peluang yang ada di sini, menjalani hidup sesuai kadar yang sudah Allah tentukan.
Q: Pesan untuk orang-orang yang belum tahu LDII?
A: Jangan takut kalau ada yang mengajak ngaji di LDII. Aku sejauh ini membuktikan bahwa isu-isu negatif yang berkembang di masyarakat itu tidak ada. Ini karena aku masuk ke dalamnya, dan mencoba mencari tahu (tabayyun) tentang apa yang ada di dalamnya. Orang-orang yang masih membicarakan yang miring tentang LDII itu karena mereka belum merasakan masuk ke dalamnya. Padahal, dengan ikut ngaji di LDII aku pribadi merasa jadi lebih baik.
Itulah hasil bincang-bincang singkat kami dengan Teh Acit. Semoga pengalamannya bisa membuka wawasan kita terhadap LDII, dan untuk terbiasa mencari tahu (tabayyun) sebelum keduluan sama skeptis dan curiga terhadap suatu kelompok/ormas/golongan yang ada di sekitar kita.
Gambar: Teh Acit (paling kiri, jilbab abu muda) sedang berfoto bersama teman-teman.
Semoga sampai khusnul khotimah……. Amiiin
Amiiinn
Ini bloggernya siapa ya, kok kenal sm acit jg. Dan itu yg di foto temen2ku semua. Btw keren nih materinya. 🙂
Blogger nya aku Kak, Iqbal alumni PPM NHahahaha, tentunya bersama tim cahayaislam XD
Alhamdulillah jazaakallahu khoiro, follow terus postingan berikutnya ya Bang Njur 😀
Alhamdulillah… Barokallah, smoga menginspirasi, bwt admin alhamdulillah jazaakallahu khoiroh. Smoga qta smw khusnul khotimah, amin.
Moga allah paring barokah