RUU Ketahanan Keluarga Dinilai Diskriminatif dalam Peran Suami dan Istri

RUU Ketahanan Keluarga dianggap akan menyeragamkan peran suami istri di Indonesia

0
2645
ruu ketahanan keluarga

RUU Ketahanan Keluarga – Indonesia selalu memiliki hal yang menarik untuk dibahas. Salah satu yang baru-baru ini mencuat dan cukup banyak diperbincangkan adalah mengenai RUU Ketahanan Keluarga. Banyak kalangan yang menganggap jika RUU ini dinilai diskriminatis atas peran antara suami dan istri.

Dalam rancangan undang-undang tersebut disebutkan mengenai peran suami dan juga peran istri. Peran suami adalah sebagai kepala keluarga dan peran istri adalah sebagai ibu rumah tangga.

Sekertaris Nasional Perempuan yakni  Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi secara terang menolak rancangan undang-undang tersebut karena dianggap diskriminatif.

ruu ketahanan keluarga

Dia mengatakan jika RUU Ketahanan Keluarga  tersebut  membuat struktur keluarga yang diskriminatif. Di dalamnya juga terdapat kewajiban-kewajiban serta hak suami istri secara jelas padahal pada kenyataannya dilapangan setiap keluarga memiliki peran yang beragam.

Isi dalam RUU Ketahanan Keluarga

Pada RUU tersebut disebutkan dalam Pasal 25 ayat (3) RUU Ketahanan Keluarga mengatur mengenai kewajiban istri, antara lain mengurus rumah tangga dan memenuhi hak-hak suami serta anak.

Pasal 25 Ayat (2) mengatur empat kewajiban suami yakni sebagai kepala keluarga, misalnyavmenjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.

Menurut Ika, undang-undang tersebut nantinya berpotensi menyeragamkan dan menghancurkan keberagaman peran dalam keluarga.

ruu ketahanan keluarga

Lalu bagaimana pendapat Islam mengenai hal ini?

Sobat cahaya Islam, dalam berkeluarga Islam telah mengatur secara detail dan dengan sangat jelas mengenai peran antara suami dan Istri. Apabila seseorang menerapkan apa yang diajarkan dalam agama maka sebenarnya keluarga akan mampu menjadi sakinah, mawadah dan pernuh rahmah meskipun tanpa RUU tersebut.

RUU Ketahanan Keluarga dan ajaran Rasulullah

RUU Ketahanan Keluarga mengatur mengenai peran suami dan istri yang memang pada kenyataannya dilapangan banyak yang berbeda. Banyak istri yang justru bekerja mencari nafkah sedangkan suaminya mengurus rumah tangga. Namun hal ini bisa saja baik namun bisa saja tidak baik. semua tergantung bagaimana kondisi dalam keluarga.

Dalam Islam, seorang suami memang diwajibkan untuk mencari nafkah namun jika suami sakit atau tidak mampu mencari nafkah maka istri boleh menggantikan suami. kewajiban istri adalah taat kepada suami dalam hal kebaikan.

ruu ketahanan keluarga

Apabila keluarga menerapkan kehidupan rumah tangga seperti yang di contohkan oleh Rasulullah maka inshaallah akan dapat terwujid keluarga yang harmonis. Rasulullah SAW merupakan suri tauladan terbaik bagi manusia. Rasulullah telah mencontohkan bagaimana bersikap kepada istri dan telah banyak contoh dari istri Rasulullah tentang bagaimana ketaatan yang harus dilakukan terhadap suami.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’: 34).

Rasulullah adalah kepala keluarga namun juga tidak malu ikut membantu pekerjaan rumah tangga. Ketika suami Istri saling mencintai karena Allah maka akan lebih mudah untuk membangun keluarga yang sakinah.

Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku” [1]

Sobat cahaya Islam, kita tidak perlu bingung mencari tauladan karena Rasulullah sudah memberikan semua contoh terbaik untuk kehidupan manusia agar kehidupan di dunia menjadi lebih mudah dan indah serta dapat menggapai ridho Allah hingga di akhirat kelak.


Catatan kaki:

  1. HR at-Tirmidzi (no. 3895) dan Ibnu Hibban (no. 4177), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY