Omnibus Law Bertentangan dengan Prinsip Islam, Ini 3 Alasannya

0
665

Omnibus Law – Sejak pemerintah menyerahkan draf omnibus law atau Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu 12 Februari 2020 lalu, aksi protes yang dilakukan oleh ribuan buruh terus terjadi. Mereka menentang Undang-Undang ini karena menemukan beberapa pasal di dalamnya yang akan merugikan pihak mereka.

Bagi para buruh, hadirnya omnibus law hanya akan membawa dampak negatif, dan secara tak langsung akan merampas hak-hak mereka sebagai kalangan pekerja. Aksi protes untuk menentang pengesahan RUU ini terus dilancarkan melalui orasi aksi serta pemberitaan pada media.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan omnibus law ini? Omnibus law atau disebut juga dengan undang-undang sapu jagat, merupakan konsep penyederhanaan UU menjadi lebih ramping, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan antara pusat dan daerah yang akan menghambat lajunya investasi.

Ternyata kebijakan omnibus law ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah, selain ditentang keras oleh pihak pekerja, ternyata kebijakan UU sapu jagat juga tidak sesuai dengan prinsip­-prinsip Islam mengenai memuliakan buruh.

3 Bukti Omnibus Law Bertentangan dengan Prinsip Islam

  1. Hilangnya Upah Minimum Kota dan Kabupaten

Dalam pasal 88C RUU Sapu Jagat berbunyi; Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum sebagaimana diseut diatas merupakan upah minimum provinsi (UMP).

Undang-undang meniadakan sistem pengupahan yang mengacu kepada upah minimun kabupaten/kota (UMK), upah minimun sektoral kabupaten/kota (UMSK) dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan dalam penetapan gaji.

Sebagai contoh, UMP provinsi Jawa Barat pada tahun 2020 adalah 1,81 juta, sedangkan UMK kabupaten lain dapat mencapai angka 4,5 juta.

  1. Penghapusan Sejumlah Cuti

Kebijakan omnibus law ini mengubah beberapa ketentuan cuti khusus yang dapat diberikan kepada karyawan, diantaranya adalah cuti hari pertama haid bagi perempuan, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptis, istri melahirkan hingga adanya anggota keluarga yang meninggal.

  1. Penetapan Upah Berdasarkan Jam Kerja

Aturan selanjutnya yang terdapat dalam UU Cipta Kerja ini adalah pemberian upah kepada buruh berdasarkan jam kerja normal, yakni 40 jam dalam satu minggu. Sedangkan buruh yang bekerja di luar jam normal akan diberikan upah per jam.

Hal ini memicu kekhawatiran buruh mengenai besaran upah yang akan diberikan di luar jam kerja akan bernilai lebih kecil dibanding dengan upah minimum.

Tentunya poin-poin ini jelas bertetangan dengan prinsip Islam. Islam memandang umat manusia dengan kedudukan yang sama tanpa peduli latar belakang pekerjaan yang ada. Buruh memiliki kedudukan setara dengan majikan.

Dalam artian, buruh juga memiliki kebebasan serta hak-hak yang wajib dipenuhi oleh majikannya. Apabila seorang majikan menistakan buruhnya dengan tidak memberikan upah yang layak, maka Allah yang akan menjadi musuh baginya.

Rasulullah SAW meriwayatkan bahwasanya Allah SWT berfirman: “Ada tiga orang yang akan menjadi musuhku pada hari kiamat: orang yang memperkerjakan seorang buruh, namun ia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari: 2227)

Sobat cahaya Islam, sesungguhnya buruh juga seorang manusia yang memiliki kedudukan sama dengan manusia lainnya. Jika benar kebijakan omnibus law ini akan ditetapkan, maka dapat dipastikan kesejahteraan buruh semakin terancam, dan manusia semakin kehilangan hak-hak kemanusiaannya.

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY