Rajah Pelindung Diri Apakah Termasuk Syirik?

0
113
rajah pelindung diri

Rajah pelindung diri – Meski sudah masuk era modern, tetapi di masyarakat luas masih tersebar kepercayaan pada rajah pelindung diri. Umumnya, rajah ditulis menggunakan huruf Arab dengan pola dan lafadz beragam, tergantung khasiatnya.

Untuk mendapatkan khasiatnya, lantas rajah tersebut dimasukkan dalam dompet, dikalungkan, diminum atau digunakan untuk mandi, disimpan bawah bantal atau kasur. Pertanyaannya, apakah praktik seperti ini masuk dalam perilaku syirik atau tidak?.

Mengenal Apa Itu Rajah

Sebagai informasi, rajah (wifiq) merupakan benda mati yang dibuat oleh seorang ahli hikmah. Benda ini dipercaya memiliki kekuatan gaib tertentu dengan bentuk tulisan berupa angka, gambar, huruf khusus, dan simbol.

Karena dibuat dengan teknik penulisan khusus dan bacaan-bacaan tertentu, banyak yang menganggap rajah mengandung khodam. Karena khodam itulah pemilik rajah merasa mendapatkan hal-hal baik yang diinginkannya, termasuk terhindar dari berbagai kesialan dan marabahaya.

Berdasarkan keterangan dari sebuah sumber, rajah ditulis dengan tata cara, aturan, waktu, dan sarana sesuai petunjuk yang ada. Kabarnya, jika salah satunya tidak ditaati maka rajah tidak bisa bekerja secara maksimal atau malah memberi efek buruk pada pemiliknya.

Aturan penulisan rajah disebut-sebut sangat ketat, bahkan alat tulis yang digunakannya diatur, baik dengan pensil, pena, spidol, atau lainnya.

Menjawab Pertanyaan Rajah Pelindung Diri Apakah Termasuk Syirik

rajah pelindung diri

Apabila seseorang sudah masuk dalam tahap meyakini bahwa mereka terlindung dari marabahaya dan kesialan karena rajah bukan karena pertolongan Allah, maka perbuatan tersebut termasuk syirik. Dalilnya ada dalam QS. Asyura ayat 21 yang berbunyi sebagai berikut:

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُۗ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۝٢١

Lafadz latin: am lahum syurakâ’u syara‘û lahum minad-dîni mâ lam ya’dzam bihillâh, walau lâ kalimatul-fashli laqudliya bainahum, wa innadh-dhâlimîna lahum ‘adzâbun alîm

Terjemah: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang menetapkan bagi mereka aturan agama yang tidak diizinkan (diridhai) oleh Allah? Seandainya tidak ada ketetapan yang pasti (tentang penundaan hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Sesungguhnya orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih.”

Adapun berlindung kepada Allah merupakan sebuah perintah mutlak bagi orang yang beriman. Karenanya tidak heran kalau para orang tua memohon perlindungan Allah untuk anak-anak mereka. Hal ini dapat kita temukan dalam riwayat hadits berikut ini.

Sementara itu, memohon perlindungan pada Allah SWT merupakan keharusan bagi orang beriman sebagai tanda bahwa manusia membutuhkan Allah kapanpun dan dimanapun. Oleh karenanya, tidak heran jika para orang tua memohonkan perlindungan bagi anak-anak mereka kepada Allah SWT.

Karena bayi dan anak-anak balita belum bisa melafalkan dzikir sesuai anjuran syariat dengan baik, maka orang tua boleh memberikan kalung atau gelang yang berisi kalimat tayibah. Catatannya, hal tersebut harus diniatkan sebagai ikhtiar meminta perlindungan pada Allah SWT. Penjelasannya ada dalam hadits berikut:

وروينا في سنن أبي داود ، والترمذي ، عن عمرو بن شعيب ، عن أبيه ، عن جده ، ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعلمهم من الفزع كلمات : أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وشر عباده ، ومن همزات الشياطين ، وأن يحضرون ” ، وكان عبد الله بن عمرو يعلمهن من عقل من بنيه ، ومن لم يعقل كتبه فعلقه عليه. قال الترمذي حديث حسن.

Terjemah, “Sebuah hadits diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud dan At-Turmudzi dari Amr bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa mengajarkan mereka sejumlah kalimat ketika rasa takut mencekam. ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari kepungan setan itu.’ Abdullah bin Amr mengajarkan kalimat ini kepada anak-anaknya yang sudah bisa mengerti pelajaran. Kepada anak-anak balitanya yang belum bisa menangkap pelajaran, Abdullah menulis kalimat (yang diajarkan Rasulullah SAW) itu, lalu menggantungkannya di tubuh mereka. Imam At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar Al-Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar, Mesir, Darul Hadits, tahun 2003 M/1424 H, halaman 102).

Berdasarkan penjelasan di atas, daripada menggunakan rajah pelindung diri yang tidak jelas hukum syariatnya, akan lebih baik jika membaca kalimat thayyibah sesuai anjuran syariat agama Islam.

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY