Benar Atau Salah Sih? – Jama’ah haji Indonesia yang pulang ke Tanah Air setelah naik haji dan umroh bila mereka ditanya “Apakah Anda ingin kembali lagi ke Mekkah?” hampir seluruhnya menjawab “Ingin”. Hanya segelintir yang menjawab, “Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi SAW”.
Naik Haji dan Umroh Terus-Terusan Itu Bukti Kamu Muslim Sejati?
Jawaban itu menunjukkan antusiasme umat Islam Indonesia beribadah haji.
Sekilas, itu juga menunjukkan nilai positif. Karena beribadah haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong. Tapi, dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.
Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim AS, bagi umat Islam, ia baru diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi SAW dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena saat itu Mekkah masih dikuasai kaum musyirik. Setelah Nabi SAW menguasai Mekkah (Fath Makkah) pada 12 Ramadhan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.
Namun Nabi SAW tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SAW baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian, Nabi SAW wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wada’ (haji perpisahan).
Itu artinya, Nabi SAW berkesempatan beribadah haji 3 (tiga) kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi SAW juga berkesempatan umrah ribuan kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunnah tiga kali dan umrah wajib bersama haji sekali. Mengapa?
Sekiranya haji dan/atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SAW lebih dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SAW adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadhan, Nabi SAW juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jama’ah umrah dari Madinah ke Mekkah.
Dalam Islam, ada 2 (dua) kategori ibadah:
- Ibadah Qashirah (ibadah individual), yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya
- Ibadah Muta’addiyah (ibadah sosial), yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain
Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah Qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah Qashirah dan Muta’addiyah,
nabi saw tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta’addiyah.
Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah Muta’addiyah, misalnya, oleh Nabi SAW, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.
Di Madinah, banyak “mahasiswa” belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka disebut ahl al-shuffah. Itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SAW menanggung makan mereka. Ibadah muta’addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji/umrah berkali-kali atau menggiring jama’ah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabi’in seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha’i, dan Malik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.
Dalam Hadits Qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat di temui di sisi Ka’bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, Al-Muta’addiyah Afdhol Min Al-Qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).
Jumlah jama’ah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali.
Ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?
Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji berkali-kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita?
Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW? Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah melainkan karena setan.
Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca Ayat Kursi setiap malam. Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat.
jAm terbang iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama.
Ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum Khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji dan umrah berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan Iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya. Wa Allahu Alam.
Penulis adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta. KH. Ali Musthafa Ya’qub.