Cara Menyikapi Polemik Nasab Ba’alawi – Sobat Cahaya Islam, perbincangan mengenai nasab Ba‘alawi seringkali menimbulkan polemik. Ba‘alawi adalah keturunan dari Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, yang nasabnya tersambung hingga Rasulullah ﷺ melalui jalur Sayyidina Husain bin Ali radhiyallāhu ‘anhumā. Keturunan ini banyak berkembang di Hadhramaut, Yaman, dan menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Indonesia.
Namun, di tengah masyarakat, muncul berbagai polemik: apakah klaim nasab ini benar? bagaimana menyikapi perbedaan pandangan? dan sejauh mana Islam menekankan pentingnya menjaga garis keturunan? Mari kita bahas bersama.
Pentingnya Menjaga Nasab dalam Islam
Islam memberikan perhatian besar terhadap masalah nasab (garis keturunan). Hal ini karena nasab berkaitan dengan hukum waris, perwalian, dan kehormatan keluarga. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَرَفُوا أَنْسَابَكُمْ تَصِلُوا أَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّهُ لَا يَصِلُ الرَّحِمَ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ النَّسَبِ
“Kenalilah nasab kalian agar kalian bisa menyambung silaturahmi. Karena tidak ada yang bisa menyambung silaturahmi kecuali dengan mengetahui nasab.” (1)
Artinya, menjaga dan mengetahui nasab merupakan bagian dari syariat agar tidak terputus hubungan kekeluargaan.
Klaim Nasab Ba‘alawi dan Polemiknya


Nasab Ba‘alawi diyakini banyak ulama sebagai garis keturunan yang terjaga, dengan catatan-catatan silsilah yang terdokumentasi secara turun-temurun. Bahkan banyak ulama besar dari kalangan Ba‘alwi yang diakui keilmuannya, seperti Imam al-Haddad, Habib Ali al-Habsyi, dan lain-lain.
Namun, sebagian kalangan meragukan kebenaran klaim ini. Polemik muncul karena:
- Kurangnya bukti tertulis yang sampai ke generasi awal.
- Adanya perbedaan versi silsilah di beberapa daerah.
- Kecurigaan terhadap klaim kehormatan sosial yang disandarkan pada status keturunan.
Di sinilah umat Islam perlu berhati-hati. Jangan sampai perbedaan pandangan soal nasab menjadi penyebab perpecahan.
Cara Menyikapi Polemik Nasab Ba’alawi dengan Bijak
Sobat Cahaya Islam, Islam tidak pernah menilai seseorang mulia hanya karena nasabnya. Yang membedakan manusia hanyalah ketakwaan. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (2)
Maka, sekalipun benar seseorang memiliki nasab mulia, hal itu tidak otomatis menjadikannya lebih utama di sisi Allah tanpa amal saleh. Sebaliknya, orang yang bukan dari keturunan mulia, jika ia bertakwa, kedudukannya di sisi Allah bisa lebih tinggi.
Polemik nasab Ba‘alawi memang sering muncul, tetapi Islam mengajarkan kita untuk tetap menjaga adab dalam menyikapi perbedaan ini. Mengetahui nasab itu penting, tetapi jangan sampai menjadikan nasab sebagai kebanggaan kosong atau bahan merendahkan orang lain.
Yang lebih penting adalah bagaimana kita meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, menjaga silaturahmi, dan memperbanyak amal saleh. Sebab, nasab tidak akan menyelamatkan seseorang di akhirat jika ia tidak membawa takwa.
Referensi:
(1) HR. Tirmidzi no. 1979
(2) QS. Al-Ḥujurāt: 13


































