Hukum Keluar Group WhatsApp – Di era digital, hampir semua orang terhubung dalam berbagai grup WhatsApp. Grup-grup ini bertujuan untuk beragam kepentingan: keluarga, kerja, dakwah, sekolah, hingga komunitas. Namun tidak sedikit yang memilih keluar dari grup karena alasan pribadi maupun sosial. Pertanyaannya, bagaimana pandangan Islam tentang seseorang yang keluar dari grup WhatsApp? Apakah hal ini termasuk perilaku buruk atau boleh dalam syariat?
Seseorang bisa memilih keluar karena HP sering hang, baterai cepat habis, terlalu banyak notifikasi, atau merasa tidak mampu aktif. Ada juga yang mundur karena isi grup sering mengandung hal negatif seperti ghibah, hoaks, ujaran kebencian, atau candaan yang tidak pantas. Dalam kondisi seperti ini, keluar dari grup bisa menjadi pilihan darurat.
Apa Hukum Keluar Grup WhatsApp?


Dalam Islam, ketika seseorang berada dalam majelis atau ruang percakapan yang berisi ghibah atau perkataan buruk, maka ia hendaknya untuk menegur atau menolak hal tersebut. Jika tidak sanggup menegur dengan lisan maupun tangan, maka ia boleh meninggalkan majelis tersebut. Ini sebagaimana penjelasan dari Imam An-Nawawi:
“Ketahuilah, orang yang mendengar ghibah terhadap seorang Muslim sebaiknya menolaknya dan menegur pelakunya. Jika tak mampu menegur dengan ucapan, maka cegahlah dengan tindakan. Bila tak bisa juga, maka tinggalkanlah majelis itu. Jika ghibah itu menimpa gurunya atau orang saleh, maka perhatiannya dalam hal ini harus lebih besar.” (1)
Dalil ini menjadi dasar bahwa keluar dari grup WhatsApp yang pebuh dengan konten buruk seperti ghibah, fitnah, dan ujaran kebencian, boleh jika tidak mampu mengubah keadaan tersebut. Tindakan ini bukan bentuk pemutusan silaturahmi, tetapi langkah menjaga diri dan kehormatan orang lain.
Membela Kehormatan Sesama Muslim di Grup
Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan seorang Muslim. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ، رَدَّ اللَّهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa saja yang membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat.” (2)
Makna “membela kehormatan” dijelaskan oleh Ibnu ‘Alan sebagai berikut:
“Yaitu jika saudaranya dighibahi, maka ia membantahnya, atau menafsirkan ucapan negatif itu dengan pengertian yang baik (husnuzhan).” (3)
Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin memberikan batasan ghibah sebagai berikut:
“Ghibah adalah menyebut hal yang tidak disukai seseorang jika sampai kepadanya, baik menyangkut fisik, keturunan, akhlak, ucapan, amal, duniawi, hingga pakaian dan kendaraannya.” (4)
Jika grup WhatsApp menjadi tempat yang sering menyebarkan ghibah dalam bentuk apa pun, maka diam adalah bentuk pembiaran. Bila teguran tidak digubris, maka keluar dari grup menjadi tindakan yang dibenarkan syariat.
Keluar dari Grup Bukan Berarti Memutus Silaturahmi
Islam tidak melarang meninggalkan sebuah forum atau majelis yang tidak sehat. Namun, hal ini bukan berarti memutus tali silaturahmi, terutama jika hubungan masih bisa dijaga melalui jalur lain. Lebih baik menghindari majelis yang buruk daripada menjadi bagian dari penyebaran dosa berjamaah.
Demi mencegah salah paham, sebaiknya anggota grup diberi pemahaman sejak awal tentang tujuan grup, etika bermedsos, dan batas-batas syar’i dalam berdiskusi. Admin grup memiliki tanggung jawab moral dan agama untuk memoderasi isi grup agar tidak keluar dari nilai-nilai Islam.
Kesimpulannya. keluar dari grup WhatsApp bukan pilihan terbaik, tetapi bisa menjadi langkah terakhir apabila grup tersebut sudah tak terkendali dan penuh dengan dosa sosial seperti ghibah dan hoaks. Selama upaya perbaikan telah dilakukan namun tidak membuahkan hasil, maka keluar dari grup dibolehkan demi menjaga diri dari dosa. Ini bukan tindakan buruk, melainkan bentuk amar ma’ruf nahi munkar.
Referensi:
Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, Damaskus: Darul Mallah, 1971, hlm. 294
HR. Tirmidzi, no. 1931
Ibnu ‘Alan, Al-Futuhat ar-Rabbaniyyah, Juz VII, hlm. 15
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz IX, hlm. 1599