Arsy Allah bergetar – Dalam kehidupan dunia yang serba cepat dan materialistis ini, kita sering lupa bahwa setiap amal baik dan buruk tidak pernah luput dari perhatian Allah. Bahkan, ketika seorang Mukmin wafat, Arsy Allah bergetar. Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan simbolis, melainkan berasal dari hadits sahih yang menunjukkan betapa besar kedudukan orang beriman di sisi Allah.
Makna Arsy Allah dan Kebesarannya
Sebelum membahas tentang Arsy Allah bergetar, kita perlu memahami apa itu Arsy. Arsy adalah singgasana Allah, makhluk terbesar yang menunjukkan kebesaran-Nya. Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an:
“Tuhan (yang) Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” 1
‘Arsy bukan sekadar lambang kekuasaan, tapi juga menjadi saksi terhadap kejadian besar, seperti ketika seorang hamba yang saleh meninggal dunia.
Ketika Arsy Allah Bergetar
Dalam sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Arsy Allah bergetar karena kematian Sa’ad bin Mu’adz.” 2
Sa’ad bin Mu’adz adalah salah satu sahabat Nabi ﷺ yang dikenal karena keimanan dan keberaniannya dalam membela Islam. Ketika ia wafat, bukan hanya penduduk Madinah yang kehilangan, tapi alam semesta pun menunjukkan responnya, Arsy Allah bergetar.
Ini bukan berarti Arsy seperti makhluk biasa yang memiliki emosi atau bergerak sembarangan. Para ulama menafsirkan bahwa ini menunjukkan kemuliaan luar biasa dari seorang Mukmin sejati hingga guncangannya dirasakan di alam langit.
Apa yang Membuat Arsy Allah Bergetar?
Peristiwa Arsy Allah bergetar karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz bukanlah kejadian biasa. Ini menunjukkan betapa mulianya posisi seorang hamba saleh hingga alam langit merespon kepergiannya. Berikut penjelasan lebih rinci tentang faktor-faktor yang membuat seorang hamba begitu dimuliakan Allah hingga Arsy-Nya bergetar:
1. Iman yang Kokoh dan Istiqamah hingga Akhir Hayat
Orang yang membuat Arsy bergetar adalah mereka yang menjaga keimanannya dalam setiap fase kehidupan, baik dalam kemudahan maupun kesulitan. Sa’ad bin Mu’adz adalah sosok yang ketika masuk Islam, ia tidak ragu menyatakan keislamannya secara terbuka dan mengajak kaumnya untuk mengikuti kebenaran.
Keistiqamahannya tercermin dari keteguhannya dalam membela Islam di masa-masa kritis. Ia tidak hanya beriman di lisan, tetapi hatinya yakin sepenuhnya kepada janji Allah. Ketika seorang Mukmin mampu mempertahankan imannya hingga ajal menjemput, maka kepergiannya bukan hanya kehilangan di bumi, tapi juga duka di langit.
2. Pengorbanan Nyata dalam Membela Agama Allah
Sa’ad bukan hanya duduk di barisan belakang dalam perjuangan. Ia terjun langsung ke medan perang, melindungi Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin dengan segala yang dimilikinya jiwa, harta, dan waktunya. Dalam Perang Khandaq, ia terluka parah, dan luka itulah yang kemudian membawanya wafat.
Namun, kematiannya bukan akhir, justru itulah puncak kemuliaannya. Dalam Islam, orang yang wafat karena membela agama Allah atau gugur di medan jihad dalam keadaan ikhlas disebut sebagai syahid. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa derajat syuhada sangat tinggi, bahkan mereka tidak merasakan sakitnya kematian sebagaimana manusia biasa. Ketika seseorang menyerahkan hidupnya untuk kebenaran, maka langit pun menghormatinya.


3. Dicintai Oleh Kaumnya dan Didoakan oleh Malaikat
Sa’ad dikenal sebagai pemimpin yang adil, disayangi oleh kaumnya, dan dicintai Rasulullah ﷺ. Ketika beliau wafat, Rasulullah menangis, para sahabat bersedih, dan 70.000 malaikat turun menyolatkan jenazahnya.
Kecintaan manusia bisa jadi karena kebaikan akhlaknya, namun dicintai para malaikat hanya mungkin terjadi jika Allah telah mencintainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Kemudian Jibril menyeru kepada para penghuni langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Lalu orang itu dicintai oleh para penghuni langit.” 3
Inilah rahasia besar di balik kemuliaan seorang hamba. Bukan karena dunia atau pangkat, melainkan karena ia dicintai oleh Allah dan seluruh langit turut bersaksi atas amalnya.
Apa Pelajaran untuk Kita?
Kita bisa bertanya pada diri sendiri: Apakah kita hidup seperti Sa’ad bin Mu’adz? Tentu, kita tidak perlu menjadi panglima perang. Tapi kita bisa meneladaninya dengan:
- Menjaga iman dalam suka dan duka.
- Menolong agama Allah dengan peran kita masing-masing.
- Membela kebenaran meskipun sendirian.
- Meninggalkan dunia dalam keadaan Allah ridha.
Arsy Allah bergetar bukanlah hal sepele. Ia bukan karena kekuatan fisik, ketenaran, atau kekayaan seseorang. Tapi karena kedekatannya dengan Allah, kesucian hatinya, dan pengorbanannya untuk Islam. Kita semua bisa bercita-cita menjadi hamba seperti itu.
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang dimuliakan ketika hidup dan dihormati ketika wafat, hingga malaikat pun turun menyambut, dan Arsy Allah pun bergetar karena kerinduan atas kepulangan seorang kekasih-Nya.