Syarat hadits shahih – Sebelum menjadikan hadits sebagai rujukan, penting untuk diketahui apa saja syarat hadits shahih. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada keraguan saat menggunakan hadits tersebut sebagai pedoman. Sebuah hadits dinyatakan shahih setelah memenuhi beberapa ketentuan.
Apa yang dimaksud dengan hadits shahih? Berdasarkan etimologi, shahih artinya sehat atau selamat. Maka, hadits shahih bisa diartikan sebagai sebuah hadits yang benar, sah dan sempurna sehingga dapat dijadikan acuan. Apa saja syarat yang harus dimiliki sebuah hadits agar dinyatakan sebagai hadits yang shahih?
5 Syarat Hadits Shahih yang Wajib Diketahui
Selain Al Qur’an, umat Islam mengenal hadits sebagai landasan hukum. Isinya berupa perkataan, perbuatan dan contoh sikap Nabi Muhammad SAW yang dicatat dan disebarluaskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama di seluruh dunia.
Hadits yang dijadikan landasan hukum sebaiknya merupakan hadits yang shahih. Kedudukan hadits ini dituangkan dalam surah An Nahl ayat 44,
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan,” (QS An Nahl:44)
Hadits yang memiliki keraguan sebaiknya tidak dijadikan pedoman karena akan bertentangan dengan syara’. Jika kita menggunakan hadits yang tidak shahih, maka landasan hukumnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, maka akan muncul perdebatan dan pertentangan yang berujug pada perpecahan.
Untuk itu, umat Islam diwajibkan menerima hadits sebagai landasan hukum kedua setelah Al Qur’an sebagaimana firman Allah SWT,
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS Al Hasyr : 7)
Dalam kitab Nukhbatul Fikar, Al-Hafidz Ibnu Hajar mendefinisikan hadits shahih sebagai hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang memiliki kriteria ‘adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-’illat (cacat) dan tidak memiliki kejanggalan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa syarat hadits shahih ada 5 (lima) yaitu:
1. Memiliki Sanad Tersambung
Yang dimaksud dengan sanad yang tersambung yaitu seluruh Perawi atau orang yang meriwayatkan hadits mendengarkan hadits tersebut langsung dari orang di atasnya. Seperti contoh hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Telah menceritakan kepada kami [Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair] dia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa’id Al Anshari] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Ibrahim At Taimi], bahwa dia pernah mendengar [Alqamah bin Waqash Al Laitsi] berkata; saya pernah mendengar [Umar bin Al Khaththab] diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan”(H.R Bukhari No. 01)
2. Perawinya Adil
Syarat hadits shahih selanjutnya yaitu perawinya harus adil. Para perawi hadits haruslah seorang Muslim yang sudah baligh, memiliki akal yang sehat, memiliki keimanan yang taat dan bebas dari perbuatan tercela. Ia juga tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.
3. Dhabith
Perawi hadits harus dhabith atau memiliki kesempurnaan ingatan dalam menghadirkan hadits yang ia dengar. Terdapat dua macam jenis Dhabith yaitu secara hafalan dimana ia mampu menghafalkan setiap hadits tanpa kesalahan. Satu lagi yaitu Dhabith secara kitab (karangan) dimana ia mampu mencatat seluruh hadits dengan sempurna.
4. Terbebas dari Syadz
Sebuah hadits dinyatakan shahih jika ia tdak memiliki syadz atau kejanggalan dan bertentangan dengan hadits lain yang lebih tinggi kualitasnya. Para perawinya tidak boleh memiliki pertentangan dengan perawi yang lebih rajin dan maqbul dibanding dirinya.
5. Tidak Memiliki ‘Illat
Hadits yang shahih tidak boleh ber-‘illat atau memiliki kecacatan yang dapat menodai keshahihannya. ‘Illat yaitu sifat buruk yang tersembunyi sehingga merusak dan mencederai hadits tersebut, sementara dhahirnya terlihat sempurna.
Sobat Cahaya Islam, hadits merupakan sumber hukum yang dipegang teguh oleh umat Islam selain Al Qur’an. Hadits mengungkapkan contoh perbuatan, perkataan dan sikap Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan landasan kehidupan. Agar dapat dijadikan pedoman, maka syarat hadits shahih sangat penting untuk kita ketahui sebelum hadits tersebut dijadikan acuan.