Sejarah Penulisan Al-Qur’an – Sobat Cahaya Islam, Al-Qur’an adalah wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril. Jadi Al-Qur’an dahulu berupa lisan, belum ada mushafnya. Lantas bagaimana sejarah penulisan Al-Qur’an hingga sampai kepada umat Islam hari ini dalam bentuk mushaf yang satu?
Menengok sejarah penulisan Al-Qur’an membawa rasa takjub dan semakin tumbuh keyakinan akan mu’jizat agung kitab suci ini. Sungguh benar firman Allah Ta’ala yang menyebutkan, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS Al-Hijr: 9)
Keadaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Al-Qur’an tidak Allah turunkan secara sekaligus melainkan berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Nabi Muhammad saw memilih beberapa sahabat untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai urutannya.
Para sahabat menjaga Al-Qur’an dengan berbagai cara. Sebagian mengandalkan kekuatan hafalannya, yang lainnya di samping menghafal juga menuliskannya. Penulisan Al-Qur’an pada masa awal Islam belum menjadi satu mushaf, melainkan masih terpisah-pisah. Al-Qur’an tersimpan dalam dada para sahabat atau lembaran-lembaran batu dan pelepah kurma.
Sejarah Penulisan Al-Qur’an dalam Satu Mushaf
Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengawali sejarah penulisan Al-Qur’an menjadi satu mushaf pada saat menjabat sebagai khalifah. Umar bin Khattab ra yang menyarankan penyatuan ini. Selanjutnya Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit ra, yang hafal seluruh Al-Qur’an, untuk melakukannya.
Zaid mengerahkan seluruh ingatan, kesadaran, dan amanahnya. Dia meminta bantuan dari sejumlah besar sahabat yang menghafal dan menuliskannya. Akhirnya pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an dalam satu mushaf berhasil dan selesai. Surat-surat dan ayat-ayatnya tersusun dengan jelas dari awal hingga akhir.
Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut. Seiring dengan pergantian kepemimpinan, mushaf tersebut lalu berpindah kepada Umar.
Penyatuan Al-Qur’an dalam Satu Qiraat
Meluasnya pembebasan Islam memunculkan permasalahan baru. Wilayah Islam semakin luas dengan berbagai keragaman bahasa. Yang paling mencolok adalah keragaman dialek bahasa Arab yang menyebabkan cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda.
Sebenarnya Al-Qur’an turun dalam dialek Quraisy yang menyatukan aneka dialek menjadi satu “dialek induk”. Rasulullah saw sendiri kadang memilih satu qiraat (cara membaca) dan di saat yang lain kadang beliau mengakui keragaman qiraat.
Hudzaifah bin Yaman ra menyaksikan bahaya yang timbul akibat perbedaan qiraat ini. Suatu ketika terjadi perselisihan sengit antara penduduk Syam dan Irak. Penyebabnya karena penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan qiraat Miqdad bin Aswad ra dan qiraat Abu Darda.
Adapun penduduk Irak membacanya dengan qiraat Abdullah bin Mas’ud ra dan qiraat Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-masing fanatik dengan qiraat yang mereka gunakan. Nyaris saja terjadi bentrokan fisik karena perbedaan ini.
Hudzaifah segera memacu kudanya meninggalkan medan jihad dan menemui Utsman bin Affan ra di Madinah yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Setelah menjumpainya dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka memperselisihkan Kitab Allah swt sebagaimana Yahudi dan Nasrani berselisih dengan kitab mereka.” (HR Bukhari no 4978)
Utsman pun segera memanggil para sahabat senior di Madinah untuk bermusyawarah. Hasil musyawarah memutuskan untuk menuliskan Al-Qur’an dalam satu huruf (dialek). Di samping itu juga diputuskan untuk menyatukan umat Islam dalam satu qiraat untuk masa itu dan selama-lamanya.
Bagaimana Proses Penyatuan Dialek dan Qiraat Al-Qur’an?
Selanjutnya Utsman memanggil Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Ash, Abdullah bin Zubair, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Dia menugaskan mereka untuk menuliskan Al-Qur’an dalam satu dialek dan qiraat.
Utsman berwasiat kepada mereka jika saling berselisih tentang suatu bacaan, hendaknya mereka menuliskannya dalam dialek Quraisy. Sebagai pedoman, dia memberi mereka mushaf pertama yang telah ada pada masa Abu Bakar.
Setelah proyek penulisan Al-Qur’an tersebut selesai, khalifah memerintahkan untuk menuliskan sejumlah mushaf yang pertama. Selanjutnya mushaf-mushaf salinan tersebut dikirim ke setiap wilayah kekuasaan Islam.
Para penulis di setiap wilayah menyalin lagi mushaf dari Madinah tersebut untuk memperbanyaknya. Mushaf induk ini masih ada sampai saat ini dan dinamakan Mushaf Utsman.
Utsman mengumpulkan semua mushaf-mushaf lain yang telah ada sebelumnya, yang terdapat perbedaan bacaan dan penulisan. Selanjutnya dia menggantinya dengan mushaf induk dan menetapkan satu dialek dan qiraat untuk menyatukan umat muslim seluruh dunia.
Demikian, Sobat Cahaya Islam, sejarah penulisan Al-Qur’an hingga menjadi satu mushaf seperti sekarang ini. Betapa besar jasa para sahabat yang telah mengumpulkan, menuliskan, dan menyatukannya dalam satu mushaf induk sehingga mencegah umat Islam berpecah-belah mengenai Al-Qur’an dan cara membacanya.