Pengertian gratifikasi menurut Islam merupakan bentuk pemberian atau “hadiah” yang diterima seseorang di luar hak atau gaji. Pemberian ini seringkali dilakukan dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi keputusan atau memperoleh keuntungan pribadi.
Umumnya, gratifikasi akan melibatkan situasi di mana pemberian ini tidak dilakukan dengan transparansi atau integritas. Hal ini bisa saja merugikan pihak lain.
Pengertian Gratifikasi Menurut Islam
Pengertian gratifikasi menurut Islam merupakan sesuatu yang dianjurkan, selama tidak ada tujuan tersembunyi dan merugikan pihak lain. Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Dawud, bahwa membalas pemberian dengan pemberian lainnya adalah diperbolehkan.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Ra. berkata: “Rasulullah SAW menerima pemberian hadiah dan membalasnya“. (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad). (Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash’ath Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hal. 497.)
1. Membalas Suatu Kebaikan
Secara umum, hadist diatas menjelaskan bahwa membalas suatu kebaikan dengan kebaikan lainnya atau yang lebih mulia hukumnya sangat diperbolehkan. Sama halnya seperti memberi salam, balasan terhadap salam bisa berupa salam yang sama bahkan lebih baik.
Adapun pada hadits lainnya, juga menjelaskan Sobat Cahaya Islami tidak boleh menolak pemberian yang diberikan secara tulus tanpa niat buruk. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, yaitu:
“Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan belakang, niscaya aku penuhi. Namun, kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya”. (Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash’ath Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hal. 212.)
2. Menerima dengan Niat Tulus
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa perbedaan antara hadiah yang diperbolehkan dan gratifikasi cukup signifikan. Hadis-hadis Rasulullah SAW telah menunjukkan bahwa menerima hadiah yang diberikan dengan niat baik merupakan sesuatu yang diperbolehkan dan dianjurkan.


Namun, gratifikasi seringkali mempunyai tujuan yang berbeda. Biasanya, praktik gratifikasi ini dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara merugikan orang lain atau merusak sistem.
Sementara, hadiah dalam Islam dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama, saling membantu, serta memuliakan orang lain. Gratifikasi akan selalu menargetkan keuntungan pribadi atau merugikan pihak lain yang jelas berbeda dari hadiah.
Sedangkan, hadiah memiliki tujuan untuk membangun hubungan yang harmonis dan positif. Akibat, dari praktek gratifikasi ini juga akan merusak tatanan hidup bermasyarakat.
3. Hubungan Tidak Terkendali
Saat gratifikasi dilakukan, kepercayaan seseorang terhadap para pelaku bisa hilang dan menimbulkan sikap saling curiga serta tuduh-menuduh. Sobat Cahaya Islami yang merasa dirugikan akan menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan.
Pada akhirnya, akan memicu ketegangan sosial dan ketidakstabilan. Apabila gratifikasi terus dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan hubungan seseorang menjadi tidak terkendali.
Bahkan, segala bentuk praktek yang merugikan diri sendiri apapun bentuknya dan siapapun pelakunya juga termasuk gratifikasi. Khususnya, mereka yang memegang amanah, seharusnya tidak boleh dibiarkan dan wajib ditindak tegas.
Tindakan hukum yang tegas sangat diperlukan untuk memastikan keadilan ditegakkan di masyarakat. Menegakkan keadilan merupakan tujuan utama dalam syariat Islam. Jadi, pengertian gratifikasi menurut Islam ini harus dipahami dengan baik.