Kongres ke VI – Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffazh (JQH), badan otonom di bawah Nahdlatul Ulama (NU) baru-baru ini telah menggelar Kongres ke VI tahun 2024. Sebagai instansi permusyawaratan tertinggi, Kongres JQH NU tersebut telah menyusun beberapa agenda strategis nasional.
Ini menjadi bidang garapan JQH NU, yang telah merespon isu permasalahan nasional maupun global dalam perspektif JQH NU. Ketua Umum PP JQH NU, Saifullah Ma’shum turut didampingi oleh Jazim Khamidi.
Kongres ke VI JQH NU
Ketua Panitia Kongres sendiri mengatakan bahwa Kongres yang merupakan instansi permusyawaratan tertinggi di JQH NU akan memutuskan hal-hal strategis. Baik itu, sifat eksternal maupun internal, termasuk melakukan pemilihan Ketua Umum serta Rais Majelis Ilmu.
1. Strategi Dakwah
Pada Kongres JQH NU ke VI tahun 2024 ini turut digelar seminar nasional yang berkaitan dengan strategi serta tantangan dakwah Al-Qur’an di era digital. Di mana menghadirkan narasumber berkompeten, dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu, diselenggarakan pula Bahtsul Masail Qur’aniyah (MQ). Ini merupakan komisi yang turut membahas status hukum berbagai macam persoalan. Hal tersebut berkaitan dengan bidang Al-Qur’an yang berkembang di masyarakat.
Adapun Tema Kongres tersebut, berkaitan dengan “Transformasi Pendidikan dan Dakwah Al-Qur’an di Era Digital Menyongsong Indonesia Emas”. Menurut Saifullah, Kongres ke VI tersebut dibuka langsung oleh Presiden RI.
Bahkan, juga dihadiri oleh Rais Am PBNU dan Ketua Umum PBNU, yang dilaksanakan dari tanggal 26-28 Juni 2024. Di mana bertempat di Pesantren Sains Tebuireng, di Desa Jombok, Jombang, Jawa Timur.
2. Memunculkan Problem dan Tantangan Baru
Menurut Saifullah, perkembangan zaman tersebut telah memunculkan banyak sekali problem dan tantangan baru yang berpotensi mengancam eksistensi serta aktivitas pendidikan dan dakwah Al-Qur’an di Tanah Air. Hal ini terutama yang dikelola oleh warga Nahdliyin.
Beberapa tantangan dan ancaman tersebut antara lain masifnya model, platform pendidikan serta dakwah Al-Qur’an yang tidak sejalan. Bahkan ada kontra, dengan sistem kebangsaan dan kultur sosial yang telah lama diakrabi oleh masyarakat Islam, khususnya warga Nahdliyin.
Pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an yang telah melahirkan generasi, ternyata cenderung intoleran bahkan radikal dalam menjalani interaksi sosial. Hal lainnya, ada tantangan yang berkaitan dengan kualitas pengelolaan lembaga pendidikan Al-Qur’an.
Bahkan tidak selalu menggembirakan, jika dibandingkan dengan perkembangan lembaga pendidikan non-Al-Qur’an di Indonesia. Sebenarnya, selama ini memang belum ada standarisasi untuk kurikulum atau materi, ketenagaan, sarana dan prasarana, kelembagaan, serta standar kelulusan lembaga pendidikan Al-Qur’an.
3. Teknologi harus Hidup Berdampingan
Tantangan lain, teknologi harus hidup berdampingan dan senantiasa berkolaborasi dengan manusia. Manusia tersebut sebenarnya sangat bergantung terhadap teknologi yang merupakan produk ciptaannya sendiri.
Bahkan, otoritas keagamaan turut mengalami pergeseran, baik itu dari ulama, ustadz, ormas keagamaan serta Pemerintah melalui Kementerian Agama. Di mana hal ini beralih kepada media baru yang tampak impersonal serta berbasis pada jejaring informasi.
Sementara itu, setiap orang akan lebih suka mengakses pengetahuan sesuai selera dan kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, ini sering terjadi disorientasi faham keagamaan.
Bahkan, banyak sekali Sobat Cahaya Islami, khususnya masyarakat urban yang belajar agama. Hal ini termasuk Al-Qur’an dari internet dan perantaraan media sosial. Sehingga tidak ada sedikit yang terpapar akan keagamaan ekstrim.
Hal tersebut tentunya karena disebabkan oleh content dakwah yang tidak ramah terhadap keragaman serta perubahan zaman. Bahkan, Kongres ke VI sebenarnya tidak sedikit dari para pendakwah yang menggunakan ayat Al-Qur’an sebagai salah satu alat justifikasi ideologi ekstremisme.