Hukum Perempuan Menjadi Pemimpin – Saat ini, banyak Wanita yang punya jabatan strategis di pemerintahan, organisasi, maupun komunitas tertentu. Tentu saja, ini menjadi isu penting, terlebih di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Agar isu seperti ini tidak semakin memanas, sobat Cahaya Islam harus memahaminya berdasarkan dalil-dalil yang ada dan pendapat para ulama.
Hukum Perempuan Menjadi Pemimpin Menurut Ulama Klasik
Dalam hal ini, ada sebuah hadits tentang kepemimpinan seorang Perempuan di masa Rasulullah. Saat itu, Rasulullah mendengar sebuah kabar bahwa putri Kisra memimpin bangsa Persia. Lalu, Rasulullah bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada Wanita.” (1)
Banyak ulama ahli hadits mengomentari hadits ini. Terkait hadits ini, saat itu negeri Kisra, negeri bagian Persia, baru saja kehilangan Rajanya karena tragedy pembunuhan oleh anak laki-lakinya sendiri. Akhirnya, anak Perempuannya pun menjadi pemimpin negeri itu. Sayangnya, ia kurang sukses menjadi pemimpin Kerajaan. Jadi, sabda Nabi pada hadits tersebut sesuai dengan kondisi negeri Kisra yang pemimpinnya seorang Perempuan.
Melalui Umdatul Qari Syarh Sahih al-Bukhari, Syekh Muhammad Al-Aini menjelaskan bahwa Perempuan tidak bisa menjadi hakim atau qadli, meski Sebagian kecil kalangan madzhab Maliki memperbolehkannya. Pendapat serupa juga muncul dari Imam Al-Qasthalani dalam Irsyadul Sari dan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari. Bahkan, larangan ini juga berlaku dalam urusan kepemimpinan (imamah) dan persaksian.
Jadi, mayoritas ulama klasik berpandangan bahwa mengangkat Perempuan sebagai pemimpin adalah tidak tepat. Termasuk juga terkait kepemimpinan pemerintahan, qadhi, dan persaksian. Namun, Sebagian ulama kontemporer punya sudut pandang lain tentang hal ini.
Hukum Perempuan Menjadi Pemimpin Menurut Ulama Kontemporer
Setelah mengkaji hadits di atas dengan sudut pandang lain, Sebagian ulama kontemporer merasa tidak sejalan bahwa Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Alasannya adalah karena hal itu tidak sejalan dengan ayat Al-Quran:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, Sebagian mereka menjadi penolong bagi Sebagian yang lain.” (2)
Tak hanya itu, ulama kontemporer juga berpendapat bahwa hadits di atas bersifat khusus, yang artinya hanya dalam konteks negeri Kisra. Pasalnya, banyak raja dan pemuka agama dari kalangan Perempuan, termasuk dalam Sejarah Islam.
Bahkan, Al-Quran mengisahkan tentang kepemimpinan seorang ratu yang bijaksana dari negeri Saba’ yang memimpin Kerajaan besar. Meski begitu, pemimpin dan pemuka agama dari kalangan Perempuan menjadi sangat minor akhir-akhir ini.
Kesimpulan
Persoalan pemimpin perempuan membuat ulama Berbeda pendapat. Sebagai jalan tengahnya, kepemimpinan Wanita bisa diterapkan dalam pemerintahan, organisasi, atau politik. Tapi dalam kasus keluarga, imam shalat, dan perwalian, Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena tidak sesuai dengan syariat agama Islam.
Tentu saja, jalan Tengah ini masih belum final, khususnya bagi pihak tertentu. Misalnya adalah fungsi Perempuan single parent sebagai kepala keluarga. Tentu saja, pembahasannya akan lebih rumit. Yang jelas, kepemimpinan Perempuan dalam ranah publik merupakan gambara kondisi sosial serta penerimaan Masyarakat umum terhadap posisi & peranan seorang Perempuan.
Referensi:
(1) Sahih al-Bukhari 4425
(2) Q.S. At-Taubah Ayat 71