Hukum Nembak SIM – Di zaman modern ini, hampir setiap orang membutuhkan kendaraan untuk bekerja, belajar, atau sekadar beraktivitas harian. Namun untuk bisa berkendara secara sah, setiap pengemudi wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Sayangnya, sebagian orang masih melakukan tindakan curang seperti nebmak SIM, yaitu meminjam atau menggunakan SIM milik orang lain agar bisa menghindari tilang atau syarat administratif. Padahal, tindakan ini bukan hanya pelanggaran hukum negara, tetapi juga menyimpang dari ajaran Islam.
Hukum Nembak SIM: Penipuan dan Kecurangan
Dalam Islam, kejujuran adalah fondasi utama akhlak seorang Muslim. Setiap bentuk penipuan, meski tampak kecil, tetap berdosa di sisi Allah. Nebmak SIM termasuk bentuk tadlīs (penipuan) karena seseorang menampilkan identitas palsu di hadapan petugas atau lembaga berwenang. Padahal ia tahu bahwa nama dan data di SIM tersebut bukan miliknya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa menipu maka ia bukan dari golongan kami.” (1)
Hadis ini memberikan peringatan keras bahwa segala bentuk kecurangan, baik dalam urusan dagang, administrasi, maupun hukum, bertentangan dengan nilai Islam. Dengan nebmak SIM, seseorang tidak hanya menipu manusia, tetapi juga menipu sistem keadilan yang dibuat untuk melindungi masyarakat dari bahaya di jalan.
Selain itu, Islam melarang segala bentuk pemalsuan data dan penyamaran yang menimbulkan kerugian atau kebohongan. Dalam konteks hukum negara, pemilik SIM yang dipinjam bisa ikut terkena sanksi hukum jika terjadi pelanggaran atau kecelakaan. Maka dari itu, nebmak SIM tidak bisa dianggap remeh karena berdampak luas pada hak dan tanggung jawab orang lain.
SIM Adalah Amanah, Bukan Sekadar Izin


Sahabat Cahaya Islam, memiliki SIM sejatinya bukan hanya perkara administratif, tetapi juga bentuk amanah. Negara memberikan izin kepada seseorang untuk mengemudi karena ia dinilai telah memenuhi syarat pengetahuan dan keterampilan. Maka, ketika seseorang nebmak SIM, ia telah melanggar amanah itu.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (2)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap kepercayaan, baik kecil maupun besar, harus dijaga dengan jujur. Amanah bukan hanya soal harta, tapi juga izin, jabatan, dan tanggung jawab sosial. Ketika seseorang meminjam SIM orang lain, ia sebenarnya sedang mengkhianati amanah yang telah diberikan kepada pemiliknya.
Dalam Islam, ketaatan terhadap aturan negara termasuk bagian dari ketaatan kepada ulil amri (pemimpin), selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta pemimpin di antara kamu.” (3)
Dengan demikian, menaati aturan lalu lintas dan memiliki SIM yang sah adalah bentuk ketaatan kepada pemimpin sekaligus wujud ibadah sosial. Seorang Muslim sejati tidak akan mencari jalan pintas yang mengandung kebohongan, karena setiap langkahnya selalu diiringi rasa takut kepada Allah.
Dampak Buruk Nebmak SIM dan Pentingnya Kejujuran
Nebmak SIM bukan hanya dosa karena menipu, tetapi juga menimbulkan banyak bahaya. Jika terjadi kecelakaan, SIM yang dipinjam bisa menyeret pemilik aslinya ke masalah hukum. Selain itu, tindakan ini mencoreng citra umat Islam di mata masyarakat karena menampilkan perilaku yang tidak amanah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (4)
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, hukumnya haram. Nebmak SIM jelas mengandung unsur bahaya, baik dari sisi hukum, sosial, maupun moral.
Lebih jauh, perilaku seperti ini menunjukkan lemahnya iman dan kejujuran. Padahal, Nabi ﷺ menegaskan bahwa tanda orang munafik adalah tidak jujur dan tidak menepati amanah. Dalam sebuah hadis disebutkan:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (5)
Maka dari itu, kejujuran harus menjadi pondasi dalam setiap tindakan, termasuk urusan sekecil apapun seperti kepemilikan SIM. Jika kita ingin hidup penuh berkah, maka hindarilah jalan curang. Kejujuran memang berat, tetapi hanya dengan kejujuranlah Allah menurunkan keberkahan.
Sahabat Cahaya Islam, nebmak SIM bukan perkara sepele. Ia termasuk perbuatan curang, melanggar hukum negara, dan menyalahi ajaran Islam. Seorang Muslim hendaknya menjaga kejujuran, memegang amanah, serta menaati peraturan yang berlaku.
Lebih baik menempuh proses ujian SIM dengan sabar dan jujur, karena hasil yang halal pasti membawa ketenangan hati. Ingatlah, kejujuran adalah cahaya, sementara kebohongan hanyalah kegelapan yang menipu.
Referensi:
(1) HR. Muslim, no. 102
(2) QS. An-Nisā’: 58
(3) QS. An-Nisā’: 59
(4) HR. Ibnu Mājah, no. 2340
(5) HR. al-Bukhārī, no. 33






























